Darwin Mahesa, Wujudkan Mimpi di 'Kampung Halaman Middle‑earth'


New Zealandbiem.co -- Berada di negeri dengan pemandangan yang dramatis seperti dataran keemasan, pegunungan menjulang, dan lautan yang begitu eksotis sudah sejak lama menjadi mimpi sineas muda Darwin Mahesa. Siapa sangka konsistensi dan kerja kerasnya selama sembilan tahun di bidang perfilman membuka jalan baginya untuk belajar di New Zealand, tempat di mana banyak sekali film box office buatan Hollywood dikerjakan.
Pemuda kelahiran Cilegon, 21 Agustus 1992 itu terpilih untuk mengikuti program beasiswa ke New Zealand dari Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia bersama 4 sineas muda Indonesia lainnya, yaitu Fiole Aditya (Malang), Fauzan Abdillah (Surabaya), Vani Dias (Jakarta), dan Andi Parulian (Sumatera). Tentu saja untuk mendapatkan kesempatan mengikuti program bertemakan "Cultural Activist"ini tidaklah mudah, ke-5 pemuda yang lolos sebelumnya harus bersaing dengan 1.100 orang pendaftar lainnya.
“Saya sangat bersyukur bisa mendapatkan kesempatan yang baik ini, mudah-mudahan apa yang saya dapatkan di sana dapat bermanfaat untuk perkembangan industri perfilman di Indonesia. Yang pasti mimpi saya berkunjung ke kampung halaman middle‑earth kini terwujud sudah,” ujar Darwin.
Ditambahkan oleh Darwin, semenjak film The Lord of the Rings pertama dirilis, New Zealand dikenal sebagai 'Kampung Halaman Middle‑earth’. Lebih dari 150 lokasi di negeri ini mewarnai berbagai film Hollywood seperti trilogi The Lord of the Rings dan The Hobbit
"Selain keindahan alam, pemerintah New Zealand sangat support dengan perfilman, bahkan sampai memberikan funding, mungkin itulah yang menjadi sebab Hollywoodbetah bikin film di negara ini, hingga perfilman industri dan indie menjadi sangat berkembang,” tutur sineas yang konsen mengangkat budaya dan tempat-tempat wisata di Provinsi Banten di setiap filmnya.
Selain belajar di Auckland University of Technology, Darwin Mahesa mengunjungi berbagai tempat study seperti Maori Televisi yang merupakan TV populer di Auckland, kemudian Weta Studio & Nga Taonga Sound Vision di Wellington, WHOA Studio Auckland, NZ Film Commission, Hobbiton Movie Set, dan tempat lainnya yang sangat menginspirasi.
“Di beberapa kesempatan saat mentoring dengan film makers New Zealand saya memutar film Jawara Kidul dan Edelweiss, mereka mengapresiasi. Saat ini pun saya sedang menggarap produksi short film di Auckland an Wellington dengan mengambil pemain dari Auckland University of Technology. Semua yang sedang saya lakukan menjadi pengalaman yang sangat menarik,” jelasnya.
Menurut Darwin Mahesa yang sudah menghasilkan 19 karya film ini, dirinya berharap apa yang ia dapat di New Zealand dapat diterapkan di Indonesia.
"Banyak hal yang saya pelajari untuk dapat diaplikasikan di Banten khususnya dan memberi banyak masukan kepada pemerintah Indonesia agar lebih fokus mengembangkan SDM komunitas film indie di berbagai daerah. Ingat bahwa budaya, bahasa, bahkan alam Indonesia sangatlah kaya, film sebagai media rekam yang paling efektif wajib maju untuk menunjukkan semua itu kepada dunia," pungkasnya. (red)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Pages