Darwin Mahesa, Merubah Stigma Jawara lewat Syiar Layar Kaca


"...Jawara bukanlah seorang pembunuh, Sakti! Jawara adalah pelindung bagi yang lemah."
Pesan yang tersirat dalam petikan di atas merupakan salah satu dialog dalam film Jawara Kidul, karya sineas muda Banten Darwin Mahesa. Melalui Jawara Kidul, Darwin ingin menggugat peran jawara yang makin tersisihkan oleh hasrat berkuasa dan kesenangan dunia.
Banten sejak lama memang telah dikenal sebagai Tanah Jawara. Namun, jawara selalu dipersepsikan sebagai sosok jahat yang hidupnya penuh dengan kekerasan. Di titik inilah Darwin melakukan perjuangan, merubah stigma jawara lewat syiar layar kaca.
"Banten ini sangat dikenal dengan jawara. Sedangkan sosok jawara identik dengan kejahatan dan kekerasan. Jadi sosok seorang jawara itu (sebenarnya) bukan melakukan kejahatan dan kekerasan, tetapi orang yang berbuat kebajikan," ungkap Darwin Mahesa kepada Banten Hits, Sabtu (31/10/2015).
Dalam film yang seting tempatnya dilakukan di Pantai Anyer dan Kampung Ciptagelar ini, sosok Prabu yang diperankan Tubagus Dian Kurniawan seolah meruntuhkan persepsi negatif terhadap jawara. Prabu dalam film itu merupakan jawara pembela kebenaran, memiliki kepedulian sosial yang baik, serta melindungi dan mengayomi masyarakat.
Menurut Darwin, film ini akan dia ikutsertakan dalam Festival Film Indonesia (FFI) 2015 yang perhelatannya akan digelar di Banten. Melalui festival itu, Gubernur Rano berkeinginan supaya Banten masa kini mampu melahirkan tokoh film legendaris seperti Teguh Karya yang asal Pandeglang.
"Proses pembuatan film ini memakan waktu sembilan bulan. Kita mulai pada bulan Janurai 2015 lalu, mulai riset, casting film, latihan skenario, latihan action, koreografer, sampai akhirnya kita shooting, editing, dan musik di film ini," paparnya.
Darwin mengaku, selama menjadi sutradara film, ada adegan yang sulit dimainkan, seperti adegan action dan adegan dramatis. Setelah sukses diputar di beberapa bioskop di Banten juga diputar dalam acara Festival Tanjung Lesung 2015, film ini dapat mampu menarik animo masyarakat untuk menonton.
"Saya berharap film ini bisa diterima di masyarakat dan anak muda Banten harus memiliki ide-ide yang inovatif, apalagi di bidang kebudayaan dan pariwisata, karena banyak budaya di Banten yang perlu di eksposE," tuturnya.
Film berdurasi 60 menit ini menampilkan empat tokoh sentral yakni Prabu yang dimainkan Tubagus Dian Kurniawan, Nyimas Ayu (Fauziyah Angela), Sakti (Anton Chandra), dan Abah (Purwo Rubiono Cak Wo).
Sakti dan Prabu adalah dua sosok yang bertolak belakang. Sosok mereka seperti mewakili kehidupan nyata jawara di Banten. Bahkan, soal kemampuan ilmu kebatinan mereka yang berbeda--di mana Sakti mumpuni dengan ilmu "hitamnya" dan Prabu yang sebaliknya--adalah pengetahuan umum yang jamak ditemui di Tanah Jawara ini.
Secara gamblang, tokoh Sakti dalam film ini seolah mewakili sekelompok orang yang masih menekuni santet sebagai sarana penaklukan lawan tandingnya. Seperti diketahui santet hingga hari ini masih tetap lekat dalam kehidupan masyarakayt Banten.. Lalu bagaimana akhir perang ilmu "hitam" dan "putih ini? Sebaiknya Anda meluangkan waktu untuk menonton film ini sampai tuntas biar tidak penasaran...(Rus)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Pages